Apa Karena Rohingya Muslim, Tak Ada Tempat Baginya?
Kasus Rohingnya ini tengah bergejolak cukup lama, Namun, dunia seperti diam menutup mata tak melihat apa yang terjadi disana . Terlebih diamnya dunia internasional atas kebiadaban pemerintahan dan militer Myanmar terhadap Muslim Rohingya, rasanya tidak mengherankan jika ada yang bertanya, apakah kemanusiaan tidak berlaku untuk mereka?
Padahal, tragedi kemanusiaan yang menimpa Muslim Rohingya bukanlah terjadi secara tiba-tiba. Majalah Masyarakat AseanEdisi 8 Juni 2015 pernah mengupas tentang masalah Rohingya secara kronologis.
Kata “Rohingya” berasal dari “Rohang” nama kuno untuk Kerajaan Islam Arakan. Etnis Rohingya tinggal di negara bagian Rakhine di Myanmar sejak abad ke-7 Masehi. Etnis Rohingya bukan berasal dari Bangladesh ataupun Bengali. Nenek moyang mereka berasal dari campuran Arab, Turki, Afghan, dan Indo-mongoloid (halaman 10).
Rohingya adalah warga negara Burma sampai tahun 1982 . Pada tahun itu dibuatlah undang-undang kewarganegaraan oleh rezim militer Myanmar atas tuduhan palsu bahwa mereka (etnis Rohingya) datang ke negara ini setelah tahun 1823 pendudukan Inggris di Negara Bagian Rakhine.
Sejak undang-undang tersebut, secara perlahan penderitaan yang dialami etnis Rohingya makin lengkap, terutama saat penguasa kala itu menolak memberikan status kewarganegaraan terhadap Muslim Rohingya.
Dengan Undang-Undang Kewarganegaraan Burma tahun 1982, etnis Rohingya akhirnya hanya dianggap imigran ilegal asal Bangladesh sehingga mereka diberi status warga tanpa kewarganegaraan. Berdasar UU tersebut, , Myanmar tidak mengakui etnis Rohingya sebagai satu di antara 137 etnis yang ada di negari itu. Akibatnya, mereka kehilangan hak-haknya di tengah mayoritas kaum Buddhis, sehingga junta militer dapat bertindak sewenang-wenang.
Undang-Undang Kewarganegaraan Burma tahun 1982 ini akhirnya melegalkan segala macam persekusi atas etnis Rohingya baik secara individu maupun kelompok, yang pada akhirnya membuat Muslim Rohingya “berhamburan” ke luar negeri mencari suaka atau pun hidup sebagai pengungsi dengan identitas sebagai stateless.
Bahkan, kala kekuasaan di bawah kendali Presiden Thein Sein secara jelas, ketidakmanusiawian Myanmar terhadap Rohingya semakin nyata. Ia mengatakan, “Rohingya are not our people and we have no duty to protect them.”
“(Bahkan) Sein menginginkan agar etnis Rohingya berada dalam pengelolaan Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) atau ditampung oleh negara ketiga.”
Artinya cukup terang bukti bahwa Rohingya benar-benar diinginkan untuk segera meninggalkan Myanmar. Dan, tragedi kemanusiaan yang terjadi belakangan ini adalah bagian dari rangkaian untuk memaksa Rakhine State steril dari sejarah keberadaan Rohingya di negeri itu.
Berbagai kondisi yang menunjukkan kebiadaban atas Muslim Rohingya pun menyebar luas di media sosial, hingga akhirnya dunia tersadar bahwa tragedi kemanusiaan mengerikan benar-benar telah melilit kehidupan Muslim Rohingya. Kita mengutuk, kita membantu, kita prihatin, tetapi bagaimana kita bisa menghentikan itu semua?
Kekuatan PBB
PBB sebagai badan dunia telah memahami dan tegas menyatakan apa yang dialami etnis Rohingya sebagai genocida.
“Situasi (Rohingya) seperti contoh buku teks tentang pembersihan etnik,” kecam Pejabat Komisi HAM PBB Zeid Ra’ad al-Hussein di Jenewa dilansir Reuters.
Namun, alih-alih statement itu digubris oleh Myanmar, bantuan kemanusiaan PBB yang akan masuk ke Rakhine State pun diblokir oleh pemerintahan Myanmar. Media Inggris, The Guardian merilis laporan eksklusif bahwa terhitung (05/09/2017) PBB terpaksa menghentikan bantuan berupa makanan, air, dan obat-obatan ke ribuan warga sipil di Rakhine Utara sejak akhir Agustus.
Penyaluran bantuan juga semakin sulit dengan adanya batasan kunjungan dari pemerintah Myanmar ke negara bagian yang berbatasan darat dengan Banglades itu.
Sementara ini bisa disimpulkan bahwa PBB ternyata tidak berdaya dengan sikap kepala batu pemerintahan Myanmar. Bahkan Amerika, Eropa, dan Rusia tidak segera berunding untuk mendorong PBB selekasnya mengirim pasukan perdamaian ke Myanmar, menyelamatkan Muslim Rohingya. Bahkan Indonesia pun tidak mampu berbuat banyak, selama PBB tidak mengeluarkan maklumat agar Indonesia mengirim pasukan perdamaian ke Myanmar.
Sementara itu, dalam respon tindakan PBB yang lambat, Myanmar bahkan telah berupaya melakukan negosiasi dengan China dan Rusia yang memiliki hak veto di PBB untuk mencegah keluarnya resolusi PBB soal tragedi kemanusiaan etnis Rohingya.
“Kami sedang bernegosiasi dengan beberapa negara sahabat agar tidak membawa itu (krisis Rohingya) ke Dewan Keamanan,” tutur Penasihat Keamanan Nasional Myanmar Thaung Tun di Naypyitaw (06/09/2017).
Dengan demikian kian terkatung-katunglah etnis Rohingya. Tiongkok dan Rusia akan sangat kecil kemungkinan rela membela Muslim Rohingya. Pertanyaan sederhananya adalah, apakah karena Rohingya Muslim sehingga kemanusiaan tidak berlaku bagi mereka, tidak patut untuk mereka, dan tidak disegerakan untuk mereka?
Namun, sebagai warga dunia yang baik, kita sudah sepakat dengan penilaian PBB atas Rohingya, bahwa operasi keamanan brutal dan biadab itu adalah bukti dari genocida.
Semoga lembaga-lembaga dunia masih punya nurani dan nyali untuk berani dan bersikap adil atas tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya. Jika tidak, maka alam dan hukum Tuhan akan bertindak sesuai dengan mekanisme alamiahnya, menghukum siapapun yang bertindak irasional, biadab dan sadis dalam menginjak-injak nilai kemanusiaan yang sama-sama kita junjung tinggi. Wallahu a’lam.*
0 Response to "Apa Karena Rohingya Muslim, Tak Ada Tempat Baginya?"
Posting Komentar